Fatwa
Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi)
Pertanyaan
:
Apa hukum Islam mengenai perbuatan
amar ma`ruf nahi mungkar berdasarkan kepada Kitabullah, Sunah RasulNya, hadits-hadits
dan atsar, manhaj Salafush Shalih, serta sikap pemimpin dan rakyat terhadap
perbuatan tersebut?
Jawaban :
Wajib
bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan
dan melakukan amar ma`ruf nahi mungkar. Allah Ta`ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan
mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran : 104).
Ketika
amar ma`ruf dan nahi mungkar ini terwujud, maka kemaslahatan manusia dan
kestabilan keadaan mereka akan didapatkan. Umat ini pun akan menjadi
sebagaimana yang dipuji oleh
Allah dengan firman-Nya :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran : 110).
Wajib bagi orang yang melakukan tugas
ini untuk menasihati orang-orang yang hatinya keras dengan cara yang dapat
melembutkan hati mereka, menenteramkan jiwa mereka, dan mau untuk taat dan
beribadah kepada Allah. Dia pun harus mendebat orang yang mempunyai kerancuan pemikiran
dengan cara yang terbaik sehingga kebenaran menjadi terang dan jelas baginya lalu
dia mengikuti jalan yang lurus. Allah Ta`ala berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang terbaik.”(An Nahl : 125)
Kaum
muslimin dalam menjalankan kewajiban ini terbagi dalam beberapa tingkatan. Ada
yang menyeru kepada kebaikan dan pelaksanaan hal itu terikat dengan tangannya,
seperti pemerintah, baik bersifat umum seperti pemimpin negara dan wakilnya,
maupun yang bersifat khusus seperti ayah dan orang yang menempati posisinya.
Ada yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan lisannya,
seperti ulama dan orang yang sama kedudukannya dengan mereka. Ada yang tidak
mempunyai pengaruh, kekuasaan, dan kekuatan berbicara sehingga dia wajib
mengingkari kemungkaran dengan hatinya. Ini berdasarkan riwayat shahih dari
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
"Barangsiapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu,
maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah
iman yang paling lemah." 1
Barangsiapa
mengabaikan kewajibannya ini, maka dia berdosa dan dia sama dengan orang yang
disebut oleh Allah :
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ ﴿78﴾ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ ﴿79﴾ تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ ﴿80﴾
“Orang-orang kafir dari Bani Israil
telah dilaknat dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (Al Maidah : 78-80)
Wabillahittaufiq, wa shallallahu `ala
Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
(Fatawa
Al Lajnah Ad Daimah 12/337-338, pertanyaan pertama dari fatwa nomor : 10.719)
Pertanyaan
:
Apakah
menjalankan kewajiban amar ma`ruf nahi mungkar hukumnya tetap wajib selama
pelaku kemungkaran tidak berhenti, atau cukup dengan menerangkan hukumnya?
Jawaban
:
Pelaku
kemungkaran perlu dinasihati secara terus-menerus hingga dia diperkirakan tidak
bisa lagi dinasihati, lalu dialihkan kepada pemberian hukuman atau sanksi.
Caranya adalah dengan melaporkannya kepada pihak berwenang atau orang yang
menempati kedudukannya untuk mendidik orang-orang yang melanggar dan para
pelaku maksiat.
Wabillahittaufiq,
wa shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Komite Tetap
Riset Ilmiah dan Fatwa
(Fatawa
Al Lajnah Ad Daimah 12/347, pertanyaan
kedua dari fatwa nomor 11292)
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Mencakup Kaum
Muslimin dan Selain Mereka
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah
Pertanyaan :
Apakah amar ma’ruf nahi mungkar berlaku
terhadap kaum muslimin dan selain mereka, ataukah hanya terhadap kaum muslimin?
Jawaban :
Amar ma’ruf nahi mungkar sifatnya umum
meliputi kaum muslimin dan selain mereka. Akan tetapi hal itu berbeda dari sisi
metode. Adapun seorang muslim, maka dia diperintah untuk melakukan setiap
perkara yang ma’ruf dan dilarang dari setiap perkara mungkar. Adapun orang
kafir, maka dia diajak kepada Islam terlebih dahulu, sebagaimana dahulu
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika mengutus para dai. Beliau berkata kepada Mu’adz bin Jabal
radhiallahu ‘anhu dalam keadaan beliau akan mengutusnya ke Yaman :
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ, فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ لِذٰلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ, وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya
engkau mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali
engkau serukan kepada mereka adalah syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika
mereka telah menyambut seruan itu, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah
telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu setiap hari dan malam. Jika
mereka telah menyambut seruan itu maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan atas mereka zakat pada harta mereka yang diambil dari orang-orang
kaya di antara mereka lalu diserahkan kepada orang-orang miskin mereka. Jika
mereka telah menaatinya, maka berhati-hatilah, jangan sampai engkau mengambil
harta mereka yang istimewa. Jagalah dirimu dari doa orang yang terdhalimi,
karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doa itu dan Allah (untuk
dikabulkan).” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun orang-orang kafir yang tinggal di
negeri kita, yang mereka memasukinya dengan perjanjian atau jaminan keamanan,
maka mereka dilarang dari menampakkan kemungkaran atau sesuatu yang termasuk
syiar-syiar mereka. Sebab hal itu merupakan penghinaan terhadap kaum muslimin.
Dan karena pelarangan itu termasuk di antara syarat yang diambil oleh Umar
radhiallahu ‘anhu dari orang-orang kafir dzimmi. Maka hal itu lebih utama
berlaku terhadap orang-orang kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian dengan kaum
muslimin-pent) dan dan musta’man (yang memasuki negeri kaum muslimin
dengan jaminan keamanan-pent). Mereka dilarang dari menampakkan
salib, sama saja apakah itu dalam rumah-rumah mereka, mobil-mobil mereka atau
apa saja yang mereka kenakan. Akan tetapi hal ini hanya boleh ditangani oleh
orang yang dengan upayanya melarang mereka akan diperoleh manfaat. Adapun orang
yang dengan upayanya melarang mereka tidak akan didapat faidah maka terkadang
larangannya itu hanya akan menjadikan mereka tetap berada dalam keadaan tersebut.
(Fatawa Nur ‘Alad Darb 597 Lisy Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah)
Berbagai
Kesalahan dalam Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Fatwa Syaikh
Shalih Al Fauzan hafidhahullah
Pertanyaan :
Apa saja bentuk-bentuk kesalahan dalam amar ma’ruf nahi mungkar, dan bagaimana cara
mengatasinya ?
Jawaban :
Bentuk-bentuk kesalahan dalam mengubah kemungkaran teringkas dalam
point-point berikut :
1.
Yang mengubah kemungkaran itu adalah orang
yang tidak memiliki ilmu tentang halal dan haram, serta apa itu kemungkaran dan apa yang bukan merupakan kemungkaran.
Sesungguhnya orang yang seperti ini akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Terkadang dia mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram. Dia juga tidak bisa menolak syubhat yang diarahkan
kepadanya. Sehingga orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus
merupakan orang yang mengetahui tentang apa yang dia perintahkan dan apa yang
dia larang. Dia juga harus bisa berdebat dengan cara yang terbaik dan membantah
syubhat yang diarahkan terhadap dirinya yang
berasal dari para
pengikut syahwat dan kesalahan.
2. Atau yang mengubah kemungkaran
itu adalah orang yang tidak memiliki hikmah dan kemampuan untuk meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya, serta kemampuan untuk menetapkan skala prioritas.
Sehingga terkadang dia melakukan pengingkaran terhadap sebuah kemungkaran kecil,
padahal ada kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih utama didahulukan
untuk dirubah. Atau dia melakukan pengingkaran terhadap sebuah kemungkaran yang
akhirnya menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar darinya. Jadi
harus ada
hikmah di dalam
hal itu.
3. Atau mengubah kemungkaran
dengan cara yang kasar dan keras, yang kemudian dilawan (oleh pelaku kemungkaran
itu-pent) dengan sikap yang semisalnya atau yang lebih parah lagi.
Sehingga akhirnya tidak diperoleh maksud dari upaya mengubah kemungkaran itu. Jadi
orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus berlemah lembut pada apa yang dia
perintah dan dia larang.
4.
Atau yang mengingkari dan mengubah kemungkaran itu adalah
orang yang tidak memiliki kesabaran dan keteguhan dalam memikul penderitaan,
sehingga dia putus di awal jalan dan meninggalkan upaya mengubah kemungkaran
karena putus asa. Jadi, orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus
memiliki kesabaran dan keteguhan dalam memikul penderitaan.
Allah ta’ala mengatakan :
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
“… dan mereka
saling menasehati
supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr : 3).
Allah
ta’ala juga berfirman menghikayatkan ucapan Luqman :
يَا
بُنَيَّ أَقِمِ
الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman : 17).
5.
Atau yang mengubah kemungkaran itu adalah orang yang
tidak menaati derajat pengingkaran yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga terkadang dia
turun kepada sebuah tingkatan pengingkaran (misalnya mengingkari dengan hati-pent)
padahal dia mampu melakukan tingkatan pengingkaran yang sebelumnya (mengingkari
dengan lisan atau tangan-pent), atau naik ke sebuah tingkatan pengingkaran
(misalnya mengingkari dengan tangan-pent) padahal dia bukanlah orang
yang berhak melakukannya.
6.
Terkadang pada sebagian orang yang melakukan amar ma’ruf
nahi mungkar terdapat sikap tergesa-gesa dalam beberapa hal penting, di mana
mereka memiliki inisiatif yang tidak mereka kembalikan kepada orang yang
memiliki ilmu dan pendapat, yang masyhur dalam mempelajari berbagai hal dan mengetahui
tentang apa yang cocok untuk segala sesuatu.
Sesungguhnya pelanggaran terhadap kesalahan-kesalahan ini atau sebagiannya
akan menghalangi jalannya amar ma’ruf nahi mungkar, dan terkadang menimbulkan hal-hal
yang bersifat kebaliknnya. Terkadang muncul pula darinya hasil-hasil yang tidak
memuaskan. Misalnya orang yang mengingkari sebuah kemungkaran ringan dan meninggalkan
kemungkaran yang lebih besar darinya, upayanya itu tidaklah menghasilkan faidah
yang besar. Orang yang tidak mengingkari kesyirikan dan bid’ah-bid’ah, tapi
mengingkari makan riba, membuka penutup wajah (bagi wanita-pent) dan
kemungkaran lain yang sebenarnya ada kemungkaran yang lebih besar darinya;
berarti orang itu memulai dari akhir jalan dan mengobati tubuh yang kepalanya
sudah terputus, serta menyelesihi manhaj para nabi ‘alaihimush shalatu was
salam. Sesungguhnya para nabi dahulu memulai dengan mengingkari perkara yang
paling penting, kemudian baru mengingkari
perkara yang berada di bawahnya. Dahulu mereka memulai dengan mengingkari kesyirikan dan
peribadahan kepada selain Allah. Tatkala mereka telah membenarkan aqidah
terlebih dahulu, mereka melirik kepada upaya mengingkari
kemaksiatan-kemaksiatan lain.
Ambillah contoh
metode Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dahulu beliau di Mekkah mengingkari kesyirikan dan mengajak kepada tauhid
selama tiga belas tahun sebelum mengingkari riba, zina, minum khamr, serta
memerintahkan untuk shalat dan zakat.
Terkadang ada
orang yang berkata : “Dahulu ini dilakukan di tengah masyarakat musyrikin.
Adapun kita, maka kita berada di tengah-tengah masyarakat muslim yang memiliki
sebagian pelanggaran syari’at (kemaksiatan di bawah syirik-pent).”
Maka kita katakan bahwa sesungguhnya apa yang dahulu ada pada orang-orang
musyrik pada zaman Jahiliyyah juga terdapat hari ini yang semisal atau lebih besar
darinya pada mayoritas negeri kaum muslimin, berupa kesyirikan kepada Allah,
yang terwujud dalam peribadahan terhadap kuburan-kuburan, juga adanya
thariqat-thariqat Sufiyyah dan berbagai macam bid’ah dalam agama ini. Maka
wajib bagi orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar
di negeri-negeri tersebut untuk mementingkan hal itu dan mulai mengingkarinya
dengan sungguh-sungguh serta dengan tekad yang kuat sehingga negeri-negeri
tersebut bersih dari kesyirikan. Baru kemudian mereka melanjutkan upaya amar ma’ruf nahi mungkar
pada pelanggaran (kemaksiatan-pent) yang lain.
(Al Muntaqa min
Fatawa Al Fauzan, jilid 24 hal. 6-8)
-----
Catatan kaki :
1. Shahih Al Bukhari, Kitabul Jum’ah (913),
Shahih Muslim, Kitabul Iman (49), Sunan At Tirmidzi, Kitabul Fitan (2172),
Sunan An Nasa’i, Kitabul Iman dan Syari’at-Syari’atnya (5009), Sunan Abu Dawud,
Kitabush Shalah (1140), Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan (4013), Musnad Ahmad
bin Hanbal (10/3)
Komentar
Posting Komentar